Kamis, 04 Mei 2017

Perempuan Tak Berotak, Hati SETRONG

Loading...

Aku bingung bagaimana kalimat yang pas untuk mengawali blog saya kali ini.
Aku mau cerita tentang hati ku yang sedang resah, gelisah, malu, ingin, akh..., semua beradu menjadi satu bahkan lebih sekedar racikan kopi susu. Mungkin seperti racikan sambal tuk tuk khas batak. Tidak terlalu banyak bahan, tapi pedas dan menggetarkan. Tidak banyak ingin, tapi sungguh gregetan.

Aku masih bingung...

Okelah, mari kita mulai dengan trial error. Coba dan coba lagi. Terimakasih tombol backspace!

Ini tentang hubungan ku dengan dia yang ku ingin menjadi masa depan ku.
Hidup kami saat ini tidaklah mudah. Banyak alasan untuk itu. Salah satu nya adalah kebodohan kami. Terlebih saya. Saat ini kami fokus untuk mengumpulkan uang. Kami berniat untuk buka usaha dengan modal dari kami. Berhubung karena kami keluarga yang tidak punya saudara kaya yang bisa bantu modal dan kami tidak ingin di kemudian hari menjadi hak orang lain karena bantuan di masa kini. Sehingga kami memilih untuk bersakit dahulu mencari modal untuk senang kemudian.

Untuk alasan ini lah yang memisahkan kami sejauh samudera. Harus menahan rindu yang teramat dalam. Btw, kenapa rindu rasanya sakit yah?? Forget it! Rasa rindu ini lah yang membuat kami berkeinginan untuk dapat bersama setelah target waktu kami untuk mengumpulkan modal terpenuhi. Kurang lebih 2 tahun target waktu yang kami tetapkan. Artinya, setelah 2 tahun kami akan tinggal bersama atau berdekatan. Agar rindu tak menyiksa indahnya cinta.
"Kenapa kita tidak menikah saja??" Tanya ku polos rada bego. Lalu dia mengatakan bahwa, jika kami menikah maka modal untuk usaha akan terpakai untuk biaya pernikahan. Kita bisa menikah, tapi tak punya modal usaha. "Apa-apa-an ini??", pikir ku dalam hati. Akh..., sakit rasanya. Mungkin dia bermaksud untuk tidak membuat ku susah setelah menikah. Tapi sungguh rasanya menyakitkan. Seakan dia menolak untuk serius dengan ku. Umur ku sudah tidak cantik lagi untuk dipamerkan, tapi semua wanita di dunia ini (yang niat berkeluarga) pasti tau mana umur yang ketuaan, mana umur yang terlalu muda, dan mana umur yang pas untuk menikah. Dan aku akan termasuk kategori yang pertama ku sebutkan. Jika setelah 2 tahun kami belum menikah, kami masih memulai usaha kami, rasanya saya tidak mau lagi berharap untuk kelanjutan hubungan ini. Saya akan biarkan mengalir seperti air yang akhirnya berujung di samudera raya, kembali pada pelukan hangat tempat teramannya. Saya sungguh tak mengharap lebih. Saya sungguh serahkan keputusan di tangan-nya dan di tangan-Nya.

Saya juga wanita biasa yang punya perasaan. Saya menyesal mengatakan hal tentang pernikahan pada dia. Pertama, saya yang keceplosan membocorkan rahasia hati ini. Kedua, saya dengan bangga rada bego membahas tentang nikah. Rasa malu yang teramat saya alami karena 2 hal bego yang saya lakukan. Saya tidak paham apakah saya ini beruntung tidak ditolak atau sial karena diterima. Saat dia mengatakan bahwa kami tidak bisa langsung menikah, rasa kecewa memenuhi dada, menyesak sampai ingin menangis. Apakah dia tidak sadar dengan umur saya? Ataukah memang dia peduli dengan kesejahteraan saya? Ataukah memang dia tidak ingin menikahi saya? Saya merasa malu ditolak seperti itu. Menurut saya pasti ada kalimat lain yang bisa cocok untuk mengatakan ingin tapi tidak bisa karena keadaan. Semoga modal yang kita miliki cukup untuk usaha kita dan cukup untuk biaya pernikahan kita, supaya kita tidak terpisah lagi oleh siksaan jarak yang membosankan ini. Itu contoh kalimat yang bisa dia pakai untuk menolak dengan cara yang manis.

Menuliskan hal ini pun saya malu sebenarnya. Saya seperti misum yang ngebet nikah. Apakah teman-teman menganggap saya bodoh atau apa, saya tidak mengerti. Mungkin sebagian sama seperti saya yang menganggap bahwa saya telah melakukan hal bodoh dengan membahas nikah dan curhat di blog ini. Mungkin sebagian lagi menganggap itu hal wajar yang dilakukan oleh perempuan. Pro dan kontra selalu ada. Membuat warna kehidupan. Tapi menurut pola pikir saya, perempuan itu harus elegan. Dia yang dirayu, dia yang menerima cinta, dia yang diajak nikah, sehingga dia bisa tahu kesungguhan orang yang dia harapkan. Tapi itu semua kembali pada pendapat masing2. Meski saya berpikir begitu, nyatanya saya melanggar pikiran saya. Mungkin harus saya akui bahwa ini adalah salah satu dari sekian banyak kebodohan saya.

Biarlah saya bodoh karena terlalu mencintai nya. Saya tak punya alasan untuk menjadi pintar sehingga melepaskan dia. Jika pun ada alasan untuk itu, saya pasti pura-pura bodoh lagi. Namanya juga hati. Semakin sakit, semakin tahan. Ketika sungguh hancur, mati perlahan. Tanpa meminta imbalan. Redup sendiri seiring waktu berjalan. Bahkan otak yang mampu berpikir akan tetap bungkam oleh kerasnya hati yang sok kuat bertahan.

Elisabeth Pasaribu, kejadian sebelum 04/05/2017
Deep ❤